Menganalisis Informasi dan Dampaknya pada Kesehatan Mental Remaja

Di era digital, remaja terpapar pada volume informasi yang masif dan tak tersaring setiap detiknya, mulai dari berita global yang mengkhawatirkan hingga perbandingan sosial yang ideal di media sosial. Kemampuan Menganalisis Informasi secara kritis telah menjadi pertahanan terdepan, tidak hanya untuk menjaga kecerdasan intelektual, tetapi yang lebih penting, untuk melindungi kesehatan mental mereka. Kegagalan Menganalisis Informasi dapat menyebabkan beban kognitif berlebih (information overload), kecemasan yang dipicu oleh hoax (berita palsu), dan rendah diri akibat social comparison (perbandingan sosial) yang tidak realistis. Oleh karena itu, literasi media dan berpikir kritis kini menjadi bagian integral dari upaya menjaga kesejahteraan emosional remaja.

Salah satu dampak terbesar dari kurangnya kemampuan Menganalisis Informasi adalah peningkatan kecemasan dan ketakutan. Paparan terus-menerus terhadap berita buruk, seperti bencana alam atau konflik global, tanpa konteks yang memadai, dapat memicu doomscrolling—kecenderungan kompulsif untuk mencari informasi negatif secara daring. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Pusat Kesehatan Mental Remaja (PKMR) pada hari 2 Mei 2025, 65% dari remaja yang menghabiskan waktu lebih dari 4 jam sehari untuk doomscrolling menunjukkan skor kecemasan yang signifikan lebih tinggi daripada rata-rata.

Isu lainnya adalah perbandingan sosial di media sosial. Remaja sering melihat “sorotan” kehidupan orang lain—kesuksesan, penampilan sempurna, atau liburan mewah—tanpa Menganalisis Informasi bahwa konten tersebut telah melalui proses penyuntingan ketat dan bias. Ketidakmampuan untuk membedakan realitas tersaring ini dari kehidupan nyata memicu perasaan tidak mampu dan depresi. Psikolog Klinis Anak dan Remaja, Dr. Karina Dewi, S.Psi., M.A., menyarankan para pendidik dan orang tua untuk mengajarkan konsep Analisis Konten Berbayar vs. Realita; setiap postingan harus dipertanyakan motif dan keasliannya.

Untuk mengatasi tantangan ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui unit Bimbingan Konseling (BK) telah meluncurkan program “Saring Sebelum Sharing. Program ini, yang wajib diikuti oleh siswa kelas 10 dan 11 setiap 3 bulan sekali, berfokus pada pelatihan media literacy dan teknik fact-checking dasar. Dengan membekali remaja dengan keterampilan berpikir kritis yang kuat, kita tidak hanya membantu mereka menjadi warga digital yang cerdas, tetapi juga memberikan mereka filter mental yang esensial untuk memproses dunia yang semakin bising dan penuh tekanan, sehingga mereka dapat menjalani masa remaja yang lebih tenang dan terfokus.