Siswa kelas tiga SMA sering dianggap hanya berjuang dengan ujian nasional dan seleksi masuk perguruan tinggi. Namun, banyak dari mereka yang secara diam-diam bergulat dengan fase Quarter Life Crisis (QLC). Fase ini didorong oleh ketidakpastian masa depan yang membayangi setelah masa sekolah menengah berakhir.
Tahun terakhir SMA menandai transisi besar dari masa remaja yang terstruktur menuju awal kedewasaan. Ketidakpastian mengenai pilihan karier, jurusan kuliah, atau mengambil gap year menciptakan tekanan mental yang hebat. Tuntutan untuk membuat keputusan “penentu hidup” di usia muda sangatlah berat.
Salah satu pemicu utama QLC pada usia ini adalah tekanan sosial dan ekspektasi keluarga. Siswa sering merasa harus memenuhi standar keberhasilan yang ditetapkan oleh orang tua atau teman sebaya. Ketidakpastian yang mereka rasakan semakin parah karena takut mengecewakan orang-orang terdekat.
Perbandingan diri di media sosial juga menjadi faktor kuat yang memperparah ketidakpastian. Melihat teman sebaya sudah mendapatkan beasiswa atau diterima di universitas impian memicu kecemasan atau Fear of Missing Out (FOMO). Rasa tertinggal ini membuat siswa merasa cemas dan tidak berharga.
Faktor ketidakpastian karir sering disebut sebagai akar QLC. Siswa yang belum menemukan bakat, minat, atau tujuan hidup yang jelas setelah lulus cenderung merasa terombang-ambing. Kurangnya kematangan karir ini menyebabkan kebingungan dan keraguan yang berdampak negatif pada kesehatan mental.
QLC pada siswa SMA juga ditandai dengan perasaan terjebak atau stagnan. Mereka merasa sudah berusaha keras di sekolah, tetapi hasil yang diinginkan tidak kunjung datang. Kondisi ini diperburuk oleh ketidakpastian bahwa kerja keras mereka akan terbayar di masa depan yang sulit diprediksi.
Penting bagi lingkungan sekolah, terutama guru Bimbingan Konseling (BK), dan keluarga untuk mengakui fenomena QLC ini. Ketidakpastian adalah hal yang wajar, namun perlu dukungan yang tepat agar siswa tidak mengambil keputusan yang salah atau mengalami depresi berkepanjangan.
Maka, fase menjelang kelulusan bukan sekadar perjuangan akademik, melainkan krisis identitas yang sesungguhnya. Memahami ketidakpastian yang dirasakan siswa kelas tiga SMA adalah langkah awal untuk memberikan bimbingan yang memadai, membantu mereka menyikapi transisi dengan bijak.
